Mau jadi Insinyur!
Begitu jawab saya dulu sejak kecil setiap kali ditanya tentang cita-cita. Entah dari mana kata insinyur ini pertama kali saya dengar. Yang saya tahu waktu itu, insinyur adalah orang yang pekerjaannya memperbaiki televisi rusak.
Di lingkungan tempat saya tinggal dulu, setidaknya ada 4 tempat servis televisi yang bisa saya temukan berdekatan. Tempat servis ini adalah rumah tinggal yang dikondisikan sedemikian rupa untuk menampung banyak televisi rusak siap diservis. Peralatan yang belakangan saya kenal sebagai solder, timah, amperemeter dan sebagainya menjadi pemandangan lazim di tempat itu. Sering setiap pulang bermain, saya berhenti di depan pintu tempat servis ini untuk menikmati keasyikan bapak-bapak berkaos oblong yang fokus memegang barang elektronik dengan sangat antusias. Si bapak ini seakan tidak peduli dengan sekelilingnya. Perhatiannya terpusat pada benda-benda kecil di depannya. Dia asyik sendiri dengan dunianya. Dan keasyikan dari si bapak inilah yang menarik minat saya.
Orang-orang menyebutnya insinyur. Lalu terbentuklah opini dalam kepala kecil saya saat itu bahwa insinyur adalah orang yang senang bermain-main dengan benda elektronik kecil. Dia membantu orang lain yang televisinya rusak. Membongkar, memperbaiki dan memasangnya. Lalu menyerahkannya kembali pada pemilik televisi dengan suka cita.
Fakta bahwa kami saat itu tidak punya televisi justru membuat tekad saya semakin kuat untuk bercita-cita menjadi insinyur, si tukang servis televisi. Waktu itu tidak semua keluarga punya televisi di rumah mereka. Dan dengan menjadi insinyur, maka televisi akan bisa saya nikmati bergelimpangan di rumah. Begitu kira-kira yang saya tangkap saat itu.
Pada akhirnya saya tahu bahwa gelar insinyur adalah gelar kesarjanaan. Tidak hanya terbatas pada mereka yang jago servis televisi. Insinyur adalah gelar yang hanya bisa diperoleh setelah lulus kuliah. Di Indonesia, dahulu istilah ini digunakan sebagai gelar seorang sarjana keteknikan (tidak tertutup pada bidang pertanian, dll). Namun setelah muncul gelar ST (Sarjana Teknik), istilah ini digunakan untuk sarjana keteknikan yang, singkatnya, telah tergabung dalam PII (Persatuan Insinyur Indonesia).
Orang tua saya mampu melihat ketertarikan dan bakat saya pada dunia insinyur-insinyuran ini, sama seperti mereka melihat ketertarikan saudara-saudara pada bidang lain. Mereka mengarahkan kami pada cita-cita sesuai ketertarikan dan minat kami. Menciptakan gambaran-gambaran menarik tentang dunia seorang insinyur, keteknikan, kedokteran, dunia analis dan lainnya meskipun saya tahu bahwa mereka tidak tahu apa-apa tentang semua ini. Memberi motivasi dan mendukung kami tanpa sedikitpun ada paksaan.
Orang tua saya adalah tipe pekerja keras. Dengan berwiraswasta kecil-kecilan, mereka bisa menyekolahkan saya sampai SMU dengan biaya pas-pasan. Kondisi ini membangkitkan tekad saya untuk berprestasi di sekolah. Saat itu, siswa berprestasi di tiap caturwulan mendapatkan keringanan tidak membayar SPP sampai caturwulan berikutnya. Dan coba tebak, saya tidak membayar SPP sejak SMP hingga SMU kecuali dua-tiga kali. Namun ketika akan memasuki bangku kuliah, hancur rasanya hati ini ketika tahu bahwa saya tidak bisa kuliah karena orang tua tidak mampu membiayai. Buyar semua cita-cita. Bagaimana mungkin bisa meraih sarjana tanpa kuliah. Saya tidak akan pernah menjadi insinyur!
Jiwa saya berontak. Memprotes kenyataan bahwa orang tua saya tidak bersikap realistis antara fakta dan harapan. Bagaimana mungkin mereka mengkondisikan saya untuk tertarik dengan elektronik sementara kami tidak punya televisi? Bagaimana mungkin mereka terus memotivasi meraih cita-cita padahal biaya pendidikan saja pas-pasan? bagaimana mungkin mereka terus memberi semangat mengejar gelar insinyur padahal tahu sejak awal bahwa mereka tidak bisa membiayai kuliah? Bagaimana mungkin mereka terus membual dengan kalimat “gantungkan cita-citamu setinggi langit” padahal sadar langit terlalu jauh untuk dijangkau? Ini pembodohan orang tua terhadap anak!
Itu cerita dulu.
Waktu pun berlalu. Tuhan punya rencana-Nya sendiri. Saya beruntung karena saat ini telah bekerja sesuai dengan minat dan ketertarikan saya pada dunia teknik. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada bekerja sesuai minat, kan? Entah dengan anda, tapi saya sangat percaya dengan kekuatan do’a orang tua. Saya bisa menyaksikan rasa bahagia di wajah orang tua saya setiap hari. Kata mereka, cita-cita saya tercapai. Sekarang saya bisa sekolah setinggi yang saya mau.
Kali ini, peran sudah berubah. Saya sudah menjadi bapak dengan anak-anak manis yang sedang lucu-lucunya. Ajaib, saya merasa bisa melihat minat dan bakat mereka bahkan ketika mereka sedang terlelap. Saya seakan punya kekuatan ekstra untuk mendorong mereka meraih apapun cita-cita mereka. Harapan saya membumbung setinggi langit, jauh melampaui realita. Prioritas utama adalah milik mereka. Mereka tidak perlu melihat keringat dan darah kami, orang tua mereka. Mereka hanya perlu bertekad. Dan tekad itulah yang akan menguatkan kami.
Saya dejavu. Apa yang saya lakukan saat ini persis sama dengan yang dilakukan orang tua saya dulu. Mereka benar dengan semua yang sudah mereka lakukan demi cita-cita kami. Saya seakan bisa merasakan semangat mereka, sekaligus mengerti pengorbanan mereka. Saya sedang melakukan apa yang orang tua saya pernah lakukan pada saya, memelihara asa bahwa cita-cita boleh setinggi langit, karena langit tidak terlalu jauh untuk dijangkau.
Dan dengan semua yang sudah saya alami tentang semangat orang tua saya memelihara tekad kami, harus saya akui, mereka adalah orang tua paling hebat di dunia.
sampe nda tau mo komen apa, sukaa tulisannya 🙂
Gag mo bilang apa2 cuma sukak banget sama postingannya kk dan jadi menginspirasi akuh untuk cepet2 jadi orangtua walau kenyataannya memang gag mudah jadi ortu n memang yg qt (sbg anak) butuhkan hanya tekad. Its happen for me before. Terimakasih untuk berbagi kak 🙂 salam for your peincesses 🙂
Kak Ucha, angkat aku jadi anakmu kak! Angkat!
Kak Ucha.. saya ini sarjana teknik… tapi ndak tau serpis telepisi..
ndak gampang tawwa, ternyata… hihihihihi