Dahulu kala, ketika Perang Dunia belum terjadi dan Bumi masih diliputi kedamaian, kamera adalah barang yang langka. Yang punya pun hanya kalangan terbatas. Kalau bukan wartawan, ya fotografer profesional. Mungkin selain karena ukurannya yang besar, harganya juga masih mahal. Bahkan konon kamera terbesar ukurannya seperti bajay disusun tiga. Dioperasikan oleh manusia sekampung. Ada yang bertugas khusus untuk megangin lensanya, ada yang mencetin shutternya dan ada tim koreografernya. Ribet yah.
Beda sama sekarang. Kamera sudah banyak berceceran di mana-mana karena sudah menyatu dengan ponsel. Hampir semua orang punya ponsel yang ada kameranya. Dan karena saking banyaknya, kamera perlahan-lahan mulai kehilangan identitasnya. Kalau bukan untuk bikin foto mesum, ya untuk bikin video mesum.
Dulu zaman masih STM, saya pernah dipaksa ikut seminar fotografi oleh guru kesenian. Seminar ini diadakan oleh perhimpunan wartawan. Mereka mengajarkan bagaimana menghasilkan sebuah foto yang bisa bercerita. Hanya dengan melihat foto, orang bisa mengerti maksud yang ingin disampaikan oleh si fotografernya. Untuk menghasilkan sebuah foto yang bagus, menurut orang-orang ini, perlu ketepatan momen, komposisi, dan teknis kamera. Ini jelimet dan bikin bingung. Dan karena saking nggak pahamnya dengan konsep ini, saya pun kabur dari seminar.
Satu-satunya yang saya dapati dari seminar itu adalah fakta bahwa saya tidak punya bakat fotografi. Belakangan saya juga akhirnya tahu berapa rupiah biaya seminar yang sudah saya sia-siakan itu karena besoknya dipanggil menghadap ke ruang BP. Konon panitianya melapor ke sekolah karena saya ketahuan kabur dari seminar.
Tapi betapa pun saya dasarnya nggak punya bakat foto-memfoto, tapi kalau melihat hasil foto yang nggak jelas kadang suka kesal juga. Apalagi kalau informasi di foto itu memang sedang diperlukan tapi foto tersebut sama sekali nggak membantu. Itu rasanya seperti pengin ngulek cabe di muka tetangga.
Nah, Istri saya adalah salah satu fotografer penganut aliran absurdisme. Yaitu fotografer yang hasil fotonya selalu gagal menjelaskan maksud yang ingin dia sampaikan. Fotografer yang antara hasil foto dan captionnya sering nggak nyambung.
Pada akhirnya saya sadar bahwa absurdity inilah yang telah menyatukan kami. Istri saya absurdisme fotografinya, kalau saya absurdisme wajahnya.
Jadi pada suatu hari, ketika saya sedang dinas luar kota, istri saya ngasi kabar lewat whatsapp bahwa si bungsu Shofwan tiba-tiba demam. Dengan nada panik dia ngasi info bahwa Shofwan sekarang kondisinya tidak sehat dan terbaring lemas. Istri saya minta advice harus ngapain.
Saya sebagai Ayah yang ganteng, cepat tanggap melakukan browsing dengan kata kunci ‘anak sakit dan lemas’. Yang terbayang oleh saya saat itu adalah Shofwan yang sedang terkulai dan wajahnya ngenes. Dari hasil browsing, muncul lah penjelasan bahwa perlu dilihat apakah si anak tampak pucat, ada ruam di tubuh, ada gigi yang mau tumbuh dan sebagainya. Saya minta foto kondisi Shofwan sesuai hasil browsing saya dengan tujuan dapat deskripsi tambahan yang dibutuhkan.
Beberapa saat kemudian foto ini yang muncul:
Kelihatannya Shofwan sehat-sehat saja.
Pernah juga di suatu hari yang sedang diguyur hujan lebat, ketika saya sedang di kantor, istri saya kirim pesan whatsapp ngasi tau kalau air di kamar mandi meluap, tapi dia nggak tau itu air apa, sumbernya dari mana dan kenapa bisa meluap. Saya mau coba bantu menganalisa dan minta dikirimkan foto. Tidak lama kemudian foto ini yang muncul:
Saya zoom-in dan zoom out berkali-kali, tapi tetap gak paham air mana yang meluap.
Setelah kejadian itu, untuk urusan minta informasi detail pada istri ketika sedang jauhan, saya lebih sering nelpon langsung daripada minta foto.
Foto pake kamera hp makanya kabur