Menunggu Buka Puasa

Setiap kita hampir pasti punya momen masa lalu yang kalau diingat kembali bisa bikin kupu-kupu beterbangan di dada. Mengingatnya, membuat kita tanpa sadar menyungging senyum tipis di ujung bibir, malu-malu kucing, mata berkaca-kaca, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin.

Itulah golden memory.

Kalian yang lahir tahun 80-an mungkin ingat betapa krusialnya hubungan antara arah antena dengan Satria Baja Hitam. Kalau tiba saatnya film Satria Baja Hitam, segerombolan pasukan dekil belum mandi sore akan berkerumun di salah satu rumah warga yang punya siaran RCTI. Tidak banyak yang punya, karena rata-rata orang cuma punya TVRI. Itupun harus kucing-kucingan sama orang tuanya masing-masing yang bisa tiba-tiba muncul membubarkan kerumunan sambil bawa handuk dan pecut!

Itulah golden memory.

Kalau sekarang sedang booming olahraga running, sesungguhnya itu cuma pengulangan dari apa yang sudah kami lakukan dulu di masa kanak-kanak. Lari belasan kilometer di tepi jalan raya sambil menggiring ban bekas sepeda. Agak keren dikit: ban bekas motor. Lebih ekstrim: ban mobil. Ban bekas ini kami giring sendiri sambil dikendalikan dengan sebilah kayu pendek dengan jarak tempuh dari Sabang sampai Merauke. Entah apa esensinya. Tapi siapa yang berhasil tiba kembali dengan ban yang masih kering (karena tidak jatuh ke selokan) maka dia berhak dapat medali finisher.

Itulah golden memory.

Melihat kepayahan Shofy dan Syifa yang tahun ini mulai belajar puasa, kadang saya kasihan juga. Betapa mereka berat untuk bangun sahur setiap hari -yang saking beratnya mereka harus menyeret-nyeret kaki agar bisa tiba dengan selamat di kamar mandi dan ke meja makan yang masing-masing berjarak puluhan kilometer dari kamar tidur. Kalaupun pada akhirnya berhasil tiba di meja makan, seringnya mereka berat untuk menggerakkan tangan demi menyuap makanan-. Belum lagi mereka harus menahan kebiasaan sarapan paginya. Yang paling berat -dan ini sangat obvious- menahan godaan dari teman-teman seumurannya yang hilir-mudik jajan di warung tetangga. I feel you, Girls.

Kejadian seperti ini membangkitkan ingatan saya di masa kecil dulu. Ingatan yang sangat manis tentang bulan Ramadhan. Di mana kami, anak-anak dekil, meramaikan masjid di seluruh sholat 5 waktu. Selepas sahur, masjid penuh sesak sampai ke jalan-jalan oleh kami. Iya, kami, anak-anak dekil. Orang dewasa hanya mengakuisisi paling banyak 50% luas masjid. Itupun makin berkurang seiring waktu. Tapi kami, semangat pantang mundur sampai lebaran.

Selepas subuh, kami bermain petasan depan masjid, di pekarangan rumah dan bahkan di jalan raya. Petasan kami dari busi motor, yang kalau cara melemparnya salah bisa-bisa mendarat darurat di atas rumah warga. Atau meriam bambu yang kadang bikin alis botak karena hangus terbakar.
Siang menjelang sholat Ashar, kami berbondong-bondong ke masjid untuk mengaji. Ada ustadz pengajar yang akan mendengarkan bacaan kami satu-persatu. Dalam 1 bulan puasa, umumnya kami bisa menamatkan bacaan 1 juz Alquran kecil, juz 30. Sumpah ini keren sekali saat itu.

Menunggu Buka Puasa
Menunggu Buka Puasa. (doc. tempo.co)

Yang paling heboh tentu saja saat berbuka puasa. Di masjid lah kami, anak-anak dekil berhamburan menunggu beduk Maghrib. Masing-masing duduk berbaris rapi memegang segelas teh manis hangat dan dua buah kue jajanan pasar. Dengan mata berbinar-binar kami menunggu detik-detik terlama dalam kehidupan kami saat itu. Detik demi detik menjelang buka puasa.

Sholat Tarawih? Jangan ditanya lagi. Di situ lah puncak kemeriahan bulan Ramadhan bagi kami. Kembang api kecil dibakar dan digantung di ranting-ranting pohon, sambil kami berlarian ke sana ke mari di sekitaran masjid tanpa memperdulikan penceramah dan Takmir masjid yang berkali-kali menegur kami agar tidak ribut.

Itulah golden memory.

Untuk itulah bulan puasa kali ini tidak akan saya lewatkan begitu saja tanpa berhasil melukiskan kesan yang manis untuk Shofy dan Syifa. Kegiatan-kegiatan unik sudah kami rangkai agar memberi kesan mendalam sambil menggali antusiasme mereka. Semua ini sengaja kami kemas identik dengan Ramadhan sehingga selamanya Ramadhan menjadi sesuatu yang mereka rindukan.

Mereka akan mengingat kepayahan mereka sebagai golden memory. Mereka akan merindukan bangun sahur sebagai golden memory, mengaji berlembar-lembar, bersedekah dengan antusias, menyiapkan buka puasa bersama, sholat tarawih di masjid dan aktifitas-aktifitas lainnya yang dikemas dengan sangat menyenangkan versi anak-anak oleh tangan dingin Istri saya yang cerdas. Bagian saya adalah memastikan Shofy dan Syifa tetap sabar berpuasa sesuai dengan skenario yang kami inginkan (tentunya puasa versi anak-anak).

Hingga di suatu hari nanti, Shofy dan Syifa akan dengan mantapnya berucap, “saya rindu Ramadhan.” Dan dibenak mereka terbayang kejadian-kejadian di bulan Ramadhan tahun ini.

Itulah golden memory.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *