Setelah nonton film ‘Jaws’ pertama kali, saya langsung takut berenang di laut lepas. Takut kalau-kalau ada hiu yang tiba-tiba muncul dengan gigi gergaji sambil senyum. Tapi setelah berkali-kali menyelam, rasa takut itu mulai hilang. Hiu tidak semenyeramkan di film ‘Jaws’. Hiu, apalagi yang lagi senyum sebenarnya lucu dan menggemaskan.
Adegan film ‘Jaws’ dengan hiu yang menebar horor mulai redup, tenggelam bersama waktu. Tertinggal satu adegan yang sampai sekarang tidak bisa hilang. Adegan yang saya ingat betul dari film ini.
Sheriff Martin Brody (diperankan Roy Scheider) duduk di meja makan bersama istri dan anaknya, adegan makan malam. Waktu itu istrinya sedang beres-beres piring sementara Sheriff Brody masih duduk di kursi makan, melamun. Memandang kosong ke meja makan seperti penuh beban pikiran. Tanpa dia sadari, anaknya yang duduk di sampingnya memperhatikan semua gerakan Sheriff Brody. Dia menoleh, anaknya ikut menoleh. Dia angkat gelas minuman, anaknya angkat gelas juga. Dia melipat tangan, anaknya melipat tangan juga. Dia menyeringai, anaknya juga menyeringai. Sampai akhirnya Sherif Brody sadar kalau anaknya meniru semua gerakannya, dia mulai bermain dengan gerakan-gerakan yang berakhir dengan dialog, “come here, give me a kiss,” kata Sheriff Brody. “Why?,” tanya anaknya. “Because I need it.” Kemudian anaknya pun memberinya ciuman.
Adegan ini buat saya adalah adegan yang sangat hangat, kuat dan inspiratif. Seorang Ayah duduk di tengah-tengah keluarga. Menjadi panutan, contoh yang akan ditiru oleh anaknya. Sheriff Brody sadar apapun yang dia lakukan pasti menjadi hal terbaik bagi anaknya. Apapun yang dia lakukan akan ditiru mentah-mentah oleh anaknya. Apapun yang dia lakukan akan menjadi yang paling benar di mata anaknya. Seperti kita semua pada anak-anak kita.
Idealnya, saya harus menjadi yang paling rajin berjamaah di masjid sebelum menekankan pentingnya sholat pada mereka. Saya harus menjadi yang paling banyak hafalan Qur’annya, sebelum meminta mereka menghafalkan ayat-ayat Qur’an. Menjadi yang paling sehat pola hidupnya dengan olahraga sebelum menyarankan pentingnya hidup sehat pada mereka. Itu IDEALnya, meskipun kenyataannya mungkin tidak seideal itu.
Maka saya mengumpulkan medali-medali ini dan memajangnya di tempat yang mudah dilihat anak-anak. Setiap medali punya satu cerita tentang harapan, perjuangan, penderitaan dan kebahagiaan. Ada kisah lucu dan sedih meskipun lebih banyak yang memalukan. Ada pelajaran yang selalu terselip di setiap untai medali. Saya bukan pelari professional, bahkan mendekati pun tidak. Hanya seorang Ayah yang berusaha menjadi panutan buat anak-anak suatu hari nanti.
Mereka tidak harus suka olahraga lari juga seperti Ayahnya, hanya karena medali-medali ini hasil ikut race di sana sini. Mereka hanya perlu menjadi manusia yang punya harapan dan cita-cita kuat, tahu apa yang harus dipersiapkan, rela bercapek-capek menempuh prosesnya, tidak curang, tidak mudah menyerah dan akhirnya punya waktu untuk menghargai diri sendiri atas pencapaiannya. Itu saja dulu.
Ini jugalah yang selalu menjadi motivasi saya di tiap kilometer saat race. Apalagi menjelang garis finish ketika rasa lelah, capek, kehabisan energi, bercampur kram otot dan jenuh, sementara yang terlintas di pikiran hanya “what the heck am I doing here?” Maka selalu saya bisiki diri sendiri, “I do this for my kids, I DO THIS FOR MY KIDS,” sampai garis Finish tiba.
Ditunggu update-an blognya Kak Ucha 🙂