“Productivity isn’t about being a workhorse, keeping busy or burning the midnight oil. It’s more about priorities, planning and fiercely protecting your time.” — Margarita Tartakovsky
Bekerja lebih banyak ternyata tidak selalu berarti meraih hasil lebih banyak. Justru, percaya atau tidak, setelah mencobanya beberapa waktu (tahun) belakangan, bekerja lebih sedikit ternyata membantu saya meraih hasil lebih baik. Paradox? Tidak juga.
Jadi, ceritanya begini.
Dulu, saya mengidentifikasi diri saya sebagai orang yang tidak suka dengan ketidakteraturan. Ketika menemukan hal yang menurut saya tidak benar, maka insting saya menuntut agar saya segera memperbaikinya atau, setidaknya mencari (sampai) tahu alasan kenapa itu bisa terjadi.
Contohnya, saya menjadi terganggu ketika di dalam rak piring saya melihat satu piring putih di tengah barisan piring hitam, padahal ada barisan piring putih yang lain dalam rak yang sama. Kenapa satu piring putih ini nyempil di antara piring hitam dan tidak disusun dengan sesama barisan piring putih lain?
Akibatnya saya menuduh diri saya sebagai perfeksionis (meskipun sebenarnya tidak) yang malah justru merepotkan diri sendiri karena membuat saya tidak tenang secara psikis.
Ini juga yang membuat saya sangat sulit menerima, mendengar, melihat apalagi berkontribusi terhadap hal-hal yang menurut nurani saya salah, baik secara etika dan moral maupun ideologi. Hati saya akan menolak, pikiran juga bergolak, dan bahasa tubuh pun berontak. Hal yang salah tidak bisa saya kompromi sebagai yang benar, atau pura-pura benar. In this scenario, I will either reject it or not do it at all.
Ada yang menyebut apa yang saya alami ini sebagai sindrom kompulsif obsesif (Obsessif Compulsif Disorder) meskipun sebenarnya tidak separah itu. Instead, Saya menyebutnya sebagai jawaban dari doa yang sering saya panjatkan, “ya Allah, tunjukkan lah yang benar sebagai kebenaran dan berikan aku kemampuan untuk mentaatinya, dan tunjukkan lah yang salah sebagai kesalahan dan berikan aku kemampuan menjauhinya.”
—-
Itu dulu. Dulu… banget.
Sampai suatu hari, karena ditodong belanja oleh anak di pameran buku, saya iseng beli buku juga. Beli lima buku anak, gratis tambah satu buku apapun. Maka setelah beli lima buku pilihan anak, saya ambil satu buku sebagai bonus tanpa lihat judulnya, masukkan ke keranjang, bayar di kasir dan pulang.
Setelah itu saya lupa tentang buku ini hingga berapa hari setelahnya. Itu pun semata-mata karena saat itu saya kehabisan stok bacaan. Akhirnya saya ingat tentang satu buku bonus ini dan saya cari di lemari buku anak. Ketemu! Judulnya “The Joy of Less: A Minimalist Guide to Declutter, Organize, and Simplify” oleh Francine Jay.
Buku ini tidak terlalu tebal, tapi terstruktur rapi. Desain sampulnya pun sudah sangat merepresentasi isinya. Sangat minimalis. Bagian pertama buku ini menumbuhkan pola pikir minimalis. Bagian kedua berisi metode paling efektif untuk menjaga rumah tetap rapi. Bagian ketiga mengajak kita menggunakan langkah-langkah khusus untuk menangani setiap ruangan di rumah. Di bagian keempat, dibahas konsep minimalis untuk membuat kita lebih ramah lingkungan sehingga mampu melestarikan Bumi untuk generasi berikutnya.
Awalnya saya skeptis. Ini buku apa? Cocoknya buat Ibu-ibu rumah tangga yang pusing mengatur perabot rumah yang sudah tidak muat dan makan tempat. Tapi akhirnya saya sadar bahwa keuntungan hidup minimalis bukan hanya dari sisi duniawi, tapi juga sisi spiritual. Bukankah Nabi Muhammad pernah bersabda, agar kita meninggalkan hal-hal yang tidak terlalu memberi manfaat untuk diri kita.
“Salah satu tanda keimanan seseorang, adalah ia meninggalkan hal-hal yang kurang bermanfaat baginya.” -Nabi Muhammad SAW.
Yes. Minimalis.
Ini menjadi jawaban masalah saya. Saya kurang fokus. Terlalu banyak hal ingin saya kerjakan. Rasanya ada yang kurang kalau saya tidak berpartisipasi di setiap perintilan yang ada di sekitar saya dari A sampai Z. Terlalu banyak hal yang lalu-lalang di kepala, sampai hal remeh seremeh piring putih-hitam pun saya beri porsi di pikiran. Akibatnya ada hal lain yang lebih prioritas menjadi terabaikan. Pada akhirnya outputnya pun tidak bisa semuanya maksimal. Biasa-biasa saja.
“You need to make the most of your time by focusing on the most important things, instead of everything. My goal is no longer to get more done, but rather to have less to do.” — Francine Jay
Tahu kan kenapa dokter spesialis itu lebih high-valued daripada dokter umum? Karena expertise dari dokter spesialis lebih tinggi dan spesifik terhadap satu subyek, yang kalau kita konsultasi jauh ke dalam hingga ke akar-akarnya, si dokter spesialis bisa jawab dengan sangat percaya diri. Kelas!
Ini juga sejalan dengan prinsip Pareto. Tau Pareto, kan? Menurut teori ini, hanya 20% usaha kita yang benar-benar memberi dampak nyata. Tapi justru biasanya kita teralihkan pada 80% yang tidak memberi dampak signifikan. Dalam implementasinya, prinsip pareto 80/20 ini dapat diterapkan untuk hampir semua hal. Dalam bisnis misalnya, bahwa 80% dari keluhan pelanggan muncul dari 20% ketidakberesan dari produk/jasa. Atau 80% keuntungan disebabkan oleh 20% dari produk atau jasa, dan seterusnya.
Faktanya, ternyata memang yang benar-benar penting itu tidak banyak. Dalam hal apapun, pekerjaan, bisnis, proyek bahkan urusan perabot rumah tangga pun hanya sedikit yang benar-benar signifikan memberi impact dan berkontribusi terhadap progres pekerjaan. Merely only a handful of tasks that significantly move the needle. Sisanya hanya ‘nice to do’ yang malah bisa mengalihkan dari prioritas pekerjaan yang lebih penting. “Nice to do” ini tidak layak menghabiskan waktu dan energi kita.
Sayangnya kita masih terima (atau dipaksa menerima) kondisi di mana kuantitas lebih berharga dibanding kualitas. Semakin banyak pekerjaan yang kita pegang, rasanya semakin hebat. Kita senang bila disebut bekerja paling keras, paling sibuk dan paling banyak. Tanpa sadar “hal-hal kurang penting” kita biarkan menginvasi “hal-hal penting”. Dan inilah yang membunuh produktifitas kita.
“Things which matter most must never be at the mercy of things which matter least.” — Johann Wolfgang von Goethe.
Dengan hidup minimalis, kata buku ini, kita bisa belajar mengerucutkan hal-hal rumit menjadi sederhana, dan menemukan solusinya dengan sederhana juga. Sebagai hasilnya, kita menemukan spesialisasi kita pada satu atau dua hal saja, dan menjadi produktif pada hal tersebut. Exactly just what I need.
Nah, pertanyaannya, apakah sekarang saya menjadi sangat produktif? well, tidak juga. Tapi yang pasti saya merasa jauh lebih tenang. Alhamdulillah.
Prinsip Pareto menyatakan bahwa, keuntungan 80% justru dicapai dari usaha yang 20%..
Nah ini saya setuju sekali