Siapa sih yang gak suka dengan media sosial? Mereka yang bisa ngakses internet lewat komputer atau handphone hampir semuanya suka dengan mainan ini. Gak suka pun, setidaknya mereka pernah dengar tentang media sosial. Media yang bisa bikin pemakainya ketagihan dan ketergantungan.
Kalau saya nih, media sosial pertama saya adalah DevianArt di tahun 2002. Ketahuan banget bangkotnya (haha). Lalu blog ini di tahun 2004. Kemudian muncul layanan lain yang timbul dan tenggelam dengan sendirinya. Semuanya saya cobain satu-satu. Belakangan muncul Friendster, lalu Facebook, Twitter, LinkedIn, Pinterest, Tumblr, Flickr, my space, instagram, google+, path dan lainnya yang gak bisa saya ingat lagi. Akun saya berceceran di mana-mana. Passwordnya lebih sering lupanya daripada ingatnya. Pertemanan pun menyebar ke seluruh pelosok bumi, mencari sendiri jalannya.
Pelan tapi pasti, akses media sosial lewat handphone rasanya lebih menarik daripada lewat komputer. Kuota pemakaian data bulanan pun mulai terasa gak cukup. Bangun tidur update status. Sambil nunggu status dikomentari teman, update lagi status baru di media sosial lain.
Gitu aja terus sepanjang hari.
Sampai akhirnya momen itu tiba. Momen ketika si bos di kantor mulai menjajal media sosial yang sama. Kemudian minta difolbek dan minta dikomen. Momen ketika kakak, adik, tante, istri, tetangga juga ikut menjajal media sosial yang sama. Kemudian kita saling berteman, saling melihat status masing-masing, lalu membawanya ke dunia nyata.
Plis deh… yang terjadi di dunia maya biarlah tetap di sana.
Itulah juga yang jadi alasan kenapa saya gak suka bawa-bawa urusan pribadi ke dunia maya. Urusan kerjaan, apalagi masalah keluarga. Menurut saya masalah-masalah ini adalah nyata, dan gak layak dipublikasi di dunia maya. Sementara saya adalah alter-Ego ketika di dunia maya.
Ketika ada orang lain, apalagi kenalan dekat, nanya dengan serius, “kamu kok kalau di media sosial gak seperti kamu sehari-hari?” Maka di saat itulah media sosial menjadi gak menarik lagi.
Buat saya media sosial itu hanya tempat berekspresi. Tempat menyalurkan kreatifitas dan imajinasi. Sehingga gak ada salahnya -menurut saya- kalau kita menjadi seseorang di media sosial A dan menjadi orang lain di media sosial B. Misalnya nih, saya sih nyaman-nyaman aja menjadi orang yang suka bicara politik di media sosial X, tapi menjadi orang yang anti politik di tempat lain. Atau religius di media sosial yang satu, tapi cablak dan vulgar di media lain. Karena memang untuk itulah media sosial diciptakan. Para penemunya paham betul bahwa media sosial adalah tempat yang paling cocok buat seseorang mengeksplorasi alter-egonya, menunjukkan kepribadiannya yang lain.
Dengan media sosial, siapapun bisa dengan mudah terhubung dengan orang lain dengan ketertarikan yang sama. Misalnya nih, saya pengin berintekasi dengan sesama penggemar buku, maka saya akan menjadi si kutu buku. Di tempat lain, saya mungkin adalah si tukang menggerutu karena bergabung dengan sesama penggerutu. Siapa pun bisa menjadi personal yang berbeda di jejaring sosial. Tapi meski begitu, kehidupan di jejaring sosial adalah maya, tidak nyata dan harusnya bisa disikapi dengan santai tapi bijak.
Sayangnya masih ada aja orang menyikapi media sosial terlalu serius. Sikap orang lain dalam jaring pertemanan kita bisa tiba-tiba berubah sesuai interaksi kita di dunia tidak riil ini. Akibatnya jejaring sosial menjadi gak menarik (menurut saya). Cara interaksi menjadi gak sebebas ketika dulu masih gak ada yang peduli. Pemilihan kalimat, intonasi, anotasi dan gambar menjadi kaku. Khawatir kalau-kalau orang akan berubah menilai kita.
Apalagi sekarang, ada UU ITE yang bisa dipakai menjerat siapapun. Ngeri banget gak sih.. Gak sama seperti dulu waktu awal-awal dunia perbloggingan baru booming di Indonesia, dan facebook belum diciptakan. Itu rasanya nikmat tiada tara.
Benar sih bahwa ada etika yang harus dipatuhi dalam berinternet. Kita menyebutnya Netika atau Netiket (netiquette). Dan itu adalah konsekuensi dari berjejaring dan bermedia sosial. Ketika anda tidak paham netika, maka anda tidak paham bersosialisasi di dunia maya. Dan dengan asumsi bahwa semua orang paham netika, maka seharusnya media dan jejaring sosial adalah tempat yang nyaman untuk bersosalisasi online.
gw setuju media sosial untuk menumpahkan ide-ide kreatif, bukan tempat berkeluh kesah atau curhat gak jelas
Nah. Kalau itu setuju bang.