Lebaran tahun ini saya pulang ke kampung halaman. Cuti 2 minggu khusus untuk bisa puasa dan lebaran di rumah bersama keluarga, hal yang sangat jarang bisa saya lakukan setelah beberapa tahun belakangan bekerja dan menetap jauh dari rumah.
Bapak sudah i’tikaf sejak 10 hari terakhir Ramadhan, dua hari sebelum saya tiba di rumah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Bapak akan menghabiskan 10 hari terakhir Ramadhan dengan ibadah di masjid. Tidak keluar masjid, apalagi pulang ke rumah.
Fungsi kepala keluarga pun didelegasikan pada saya. Meskipun bukan anak pertama, namun di rumah ini saya menjadi anak laki-laki tertua. Di sisa Ramadhan ini saya akan bertanggung jawab mewakili eksistensi Bapak pada kolega-koleganya, mengurus ibu dan adik-adik, memimpin sholat tahajjud berjamaah, sampai membangunkan sahur seisi rumah -yang rekor bangun sahur tersulit masih dipegang oleh adik bungsu saya, Abdun, 8 tahun yang sampai hari ini sudah 3 hari bolong puasa-
Bertahun-tahun sudah saya hidup terpisah jauh dari keluarga. Ini membuat saya terbiasa hidup tanpa kehadiran orang tua dan saudara-saudara. Namun tidak bagi orang-orang di rumah ini.
Mereka peka.
Di hari ke empat, ada sesuatu yang mulai mengusik perhatian saya. Sering saya dapati bunga melati di beberapa tempat di dalam rumah. 5 sampai 10 kuntum bunga melati terangkai pada benang dan digantung di gorden kamar depan, di meja, di ruang sholat atau berserakan begitu saja di lantai. Entah siapa yang melakukannya. Yang pasti, kami memang punya tanaman melati di halaman rumah yang sudah ada di sana sejak saya kecil. Hanya satu, tapi sering berbunga.
Awalnya saya pikir rangkaian melati ini untuk mengharumkan ruangan.
Hingga saat saya tanyakan pada Nadhirah, adik saya yang 13 tahun, dia menjawab, “kami yang melakukannya. Karena harumnya seperti Bapak.”
Ibu saya membenarkan. Beliau menceritakan bagaimana Bapak sangat suka pada bunga melati. Sering beliau petik dan diselipkan di telinga adik-adik. Kadang juga beliau rangkai beberapa bunga untuk sekedar menikmati harumnya sendiri saat sedang kerja. Ibu juga menceritakan kesukaan adik-adik saya merangkai melati dan menikmati harumnya bersama bapak.
Saya terdiam. Sadar bahwa hal ini luput dari perhatian saya selama ini. Bahwa bunga melati di halaman rumah kami, mewakili eksistensi Bapak.
Saat beliau tidak ada seperti saat ini, semua merasa kehilangan. Menegaskan bahwa tidak ada sosok lain yang bisa menggantikan posisi beliau. Lebih dari itu, saya merasakan aura dan wibawa bapak sebagai orang paling berpengaruh di keluarga kami, dan yang paling dicintai seisi rumah.
Hari ini masih hari ke tujuh dari 10 hari i’tikaf Bapak. Bapak baru akan pulang saat hari raya, tiga hari lagi. Tapi rasa rindu ini tiba-tiba tumbuh begitu kuat. Tidak sabar rasanya ingin segera berlebaran dan berkumpul kembali. Momen yang tepat untuk mencium, memeluk dan merangkul tubuh Bapak yang semakin lemah.
Betapa saya sangat bangga pada Bapak. Sosok beliau menjadi teladan nyata untuk saya, dan seisi rumah ini. Perjalanannya, cara memimpinnya, cara membimbingnya, tekad dan prinsip hidupnya. Semuanya.
Kehormatan bagi saya bisa menjadi kepala keluarga sesaat. Wakil dari beliau yang tiada duanya. Dan saya sudah membuat dua rangkaian melati pagi ini.
salam hormat ya Cha untuk bapaknya, bahagianya masih punya ortu lengkap. jadi kangen nih sama alm bapak
maaf lahir bathin ya Cha
met lebaran di kampung halaman 😉
Your father; bunga melati. Beliau masih hidup dan sebagai ganti bila beliau nggak ada adalah bunga melati.
Cha, bapak saya = minyak kayu putih. Beliau udah nggak ada tapi dalam moment2 tertentu selalu hidung kami membaui minyak kayu putih dan akhirnya berujar, “Assalamu’alaikum…”
Sama kayak Linda, postingan Ucha inih mengingatkan kami pada Bapak yang udah tiada. Thx, Cha.
Oia, salam buat seluruh keluarga di Makassar.
Maaf lahir bathin, Cha!
lam kenal cha,.
jujur saya terharu ngebaca “MELATI UNTUK BAPAK”
TGL 06 KEMARIN ayahanda saya telah berpulang ke rahmatullah,.
jdi teringt dengan mendiang almarhum ayahanda,.
Mohon Maaf Lahir Batin Ya,..
Semoga bapaknya sehat selalu…maaf lahir batin….
Subhanallah..
a Great Father with a great son
indeed.
Tuteh mengucapkan SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 😀
Maafkan semua kesalahan yang disengaja yaaa hehehehe 😀
indah yah… Almost sound like a fairytale.. Lucky to have a family. Selamat idul fitri.. Maaf lahir dan batin
aku jarang nemuin laki2 yg suka bunga, Bapakmu terdengar begitu wibawa 🙂
btw, brapa bersodara Cha? Adikmu aja aku itung ada 6 ya?
Wah what a big family… senangnya pulang kampung…
Met Idul Fitri yah! Mohon maaf lahir dan bathin.
melati nya ditaruh di wadah trus dikasih air dan lilin mengapung bagus loh cha 😀 eh nama adikmu bagus banget Nadhirah artinya apa cha?
Maaf lahir batin yah chaa…
Happy Ied, Cha 😀 hehehe *lagi*
Gimana nih cerita Lebaran di kampung halaman? Seru? Lucu? Berkesan *pastinya* hehe.
jadi terharu bacanya.. 🙁
met lebaran ya.. mohon maaf kalo ada salah2…
salam buat keluarga…
senangku klo ke sini..trus nd error ki blogmu cha..^_^.
Klo Bapak suka Melati, Ucha suka apa? biar deen kirimkan dari sini, hehehe
so sweet… mohon maaf lahir dan batin ya 🙂
ucha, minal aidin wal faidzin yah, maafkan klo ada salahsalah kata 🙂
ZUSI:;