Salah satu cerpen Dee dalam Filosofi Kopi akhirnya membawa saya mengunjungi kedai Filosofi Kopi di dunia nyata. Kedai ini benar-benar ada. Dibuat dengan detail yang cukup akurat dengan apa yang ditulis Dee dalam bukunya. Seakan memasuki sebuah wahana teka-teki, saya penasaran menebak bagian mana dari kedai di Blok M, Jakarta, ini yang dititiskan dari buku, dari film, atau malah tidak dari dua-duanya?
Saya sengaja datang cukup pagi, kira-kira pukul 11 sebelum jam istirahat orang kantoran. Lokasi kedai ini ternyata tidak mudah ditemukan, meskipun tertulis jelas di hasil pencarian peta: Blok M Square, daerah Melawai. Namun karena posisi kedai ini yang terjepit di antara jejeran toko, ditambah suasana kedai yang masih sepi, membuat kedai ini tampak tersembunyi dari pinggir jalan. Di depan kedai ini banyak sekali motor yang parkir. Berbekal gambaran dari filmnya, benar saja, saya berhasil menemukan sebuah ruko tua dua lantai penuh dengan coretan mural dari cat putih memenuhi jendela kaca depannya. Lantai atasnya tidak difungsikan karena memang tidak layak fungsi. Malah lebih mirip bekas ruko yang habis terbakar.
Mencari Ben dan Jody
Menurut cerita, Ben adalah seorang barista andal yang sangat mencintai kopi. Ia bahkan berkeliling dunia untuk menyicipi kopi-kopi terenak yang pernah ada. Ia selalu senang mengajak pengunjung kedainya ngobrol seputar kopi, menunjukkan cara minum kopi yang nikmat, lalu dengan keahliannya, setiap pengunjung akan dibuat takjub setelah menyesap kopi-kopi buatan Ben. Sedangkan Jody adalah pria dengan kemampuan manajerial dan akuntansi yang andal. Jadilah mereka dua sejoli yang saling melengkapi.
Saya tidak menemukan keduanya, jelas saja. Hanya ada dua orang karyawan di belakang meja Barista yang dengan ramah menyapa dan mempersilakan saya memesan kopi.
Tentang Kedai Filosofi Kopi
Dalam kisah fiksinya, kedai ini adalah bekas toko kelontong warisan dari orang tua Jody. Karena Jody juga mewarisi utang ayahnya, ia harus memutar otak membuka usaha bersama Ben. Demi antusiasme Ben pada kopi, mereka akhirnya memutuskan membuka kedai kopi di bangunan bekas toko kelontong ini.
Faktanya, kedai ini adalah ruko tua di kawasan Blok M, Jakarta, yang sudah 17 tahun tidak terpakai. Oleh Handoko, Anggia Kharisma, Rio Dewanto, dan Chico Jericho (dua nama terakhir adalah aktor dalam film Filosofi Kopi) ruko ini kemudian disewa dan disulap menjadi kedai Filosofi Kopi. Lantai dua ruko ini memang tidak disewakan dan dibiarkan kondisinya seperti apa adanya.
Ke sini, jujur saja saya tidak mengharapkan secangkir kopi yang dahsyat karena kedai Filosofi Kopi dengan ‘Ben’s Perfectonya‘ hanya ada dalam buku. Saya ke sini untuk menikmati fiksi. Mencoba masuk ke dalam pusaran cerita di mana Ben dan Jody jadi pemeran utamanya.
Saya hirup dalam-dalam aroma kopi yang tebal di kedai ini. Secara tampilan visual kedai ini cukup memuaskan mereka yang pernah baca novelnya atau lihat filmnya.
Meramu Fiksi Menjadi Nyata
Kedai Filosofi Kopi mungkin kedai kopi pertama yang dibangun berdasar karya fiksi. Mirip Hobbiton atau rumah Hobbit di Selandia Baru yang dibangun berdasar fiksi Lord of The Ring. Atau Museum of Innocence di Istanbul, Turki, yang dibangun berdasar novel dengan judul serupa karya Nobelis Sastra Orhan Pamuk.
Interior Filosofi KopiFurnitur yang tersebar di kedai ini sangat unik. Meja barista terbuat dari beton dan diberi keramik porselin. Di atasnya tergantung 4 buah lampu gantung menyorot mantap ke arah meja barista. Meja untuk pengunjung dalam ruangan terbuat dari kayu yang dipasang memanjang sepanjang dinding. Mengingatkan saya pada Ben yang sangat picky memilih furnitur. Di beberapa sisi dinding berdiri lemari rak untuk memajang produk kopi, buku bacaan dan poster-poster kecil.
Sebuah mesin kopi, berikut ketel air, dripper V60, shyphon dan mesin kasir berjejer di meja barista yang lokasinya benar-benar di tengah ruangan. Konon, Ben yang mengatur interior kedai ini. Ben juga lah yang memutuskan menempatkan meja barista -di mana ia akan selalu berdiri di sana- di tengah-tengah ruangan, menjadi pusat orbit orang-orang yang datang untuk minum kopi.
Dinding dan lantai kedai terbuat dari kayu berserat kasar, beberapa bagian dinding kedai terbuat dari batu bata yang tidak diplester, dihiasi beberapa poster kopi berbagai pose di sepanjang dinding dan mural tulisan FILOSOFI KOPI besar di bagian belakang.
Visualisasi
“Mas, Coffee Latte satu.” kata saya pada Barista yang saya tuduh semena-mena sebagai Ben. Meskipun saya tahu dia bukan Ben.
Sambil menunggu pesanan, saya mengambil posisi duduk di sudut dinding, memilih meja panjang sambil menatap menembus jendela kaca, menghadap ke jalan. Di sinilah konon duduk seorang Bapak yang berhasil meruntuhkan kedigdayaan ‘Ben’s Perfecto‘ langsung di hadapan Ben. Saya mulai menikmati sandiwara yang berkeliaran di kepala saya sendiri.
Di luar kedai, di sepanjang teras yang sejatinya adalah tempat pejalan kaki, tersusun rapi kelompok-kelompok kecil meja dan kursi. Mejanya terbuat dari potongan-potongan kayu segi empat dan kursinya dari besi yang usianya mungkin lebih tua dari Bapak saya.
“Silakan, Mas. Coffee Latte-nya.” Kata si Mas pengantar kopi sambil berlalu, kembali ke belakang mesin kasir. Saya menuduhnya sebagai Jody.
Dari seluruh rangkaian visualisasi yang berhasil diciptakan kedai ini, ada satu gimmick yang hilang dan cukup mengecewakan pengunjung seperti saya (yang datang ke sini semata-mata untuk menyesap fiksi, bukan kopi) yaitu kartu filosofi. Tidak ada kartu filosofi seperti dalam cerita. Kopi yang disajikan hanya disertai selembar tissue sebagai alas cangkir, dan selembar nota. Meskipun di baris bawah print-out nota memang ada kutipan “Filosofi Kopi – Temukan Diri Anda Di Sini.”
Bagaimanapun, nilai tambah kedai ini terletak pada cerita yang melekat pada kopinya. Tiap sesap kopi menggiring saya entah pada salah satu paragraf dari novelnya atau salah satu adegan dalam filmnya. Membuat saya lupa pada rasa kopi yang dari tadi saya minum. Saya bahkan lupa bertanya origin biji kopi yang mereka ramu sampai akhirnya coffee latte di tangan saya tandas hingga ke dasar gelas. Kedai Filosofi Kopi ini sukses membuat saya duduk minum kopi sambil memainkan imajinasi. Sesukses filosofi kopi Tiwus yang melegenda: “Sukses adalah wujud kesempurnaan hidup”.
Baru tahu ada Kedai Filosofi Kopi. “Menyesap fiksi” wah, diksinya awesome, Cha. Tampilan kedainya juga bikin saya ingat-ingat kisah Filosofi Kopi-nya Dee itu.
Terima kasih atas tulisannya. Silakan mampir juga ya ke web https://aswacoffee.my.id/