Kata teman saya, olahraga lari sekarang sudah kehilangan hakikatnya. Berubah dari olahraga murah menjadi olahraga mahal. Masa mau lari saja harus daftar? Sudah capek, bayar pula. Apalagi kalau acaranya di luar pulau, harus beli tiket dan akomodasi. Belum lagi harga sepatunya, pakaiannya, sampai aksesorisnya.
Well, dari perspektif itu dia benar. Mari kita hitung biaya yang dibutuhkan seandainya kita mau ikut Full Marathon di luar pulau. Biaya kita bagi menjadi dua: biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap biasanya gak berubah di tiap event. Misalnya yang ‘sekali beli’ seperti sepatu, pakaian dan aksesoris, atau biaya makan & minum tiap event. Biaya variabel adalah biaya yang muncul di tiap event dengan harga berubah-ubah seperti registrasi dan akomodasi.
Untuk registrasi dan akomodasi, harganya beda-beda untuk 5K, 10K, half marathon atau full marathon. Biasanya untuk Full Marathon sekitar 600 ribu. Kalau eventnya lokal, maka gak perlu biaya transportasi dan akomodasi. Tapi kalau di luar pulau, maka ada biaya tiket pesawat dan hotel. Anggap saja 3 juta untuk tiket pulang-pergi kelas ekonomi plus hotel. Maka untuk Full Marathon di luar pulau totalnya 600 ribu ditambah 3 juta = 3,6 juta.
Kalau kita daftar hanya untuk dapat t-shirt, medali dan sekedar berlari 42 km sepanjang rute, maka biaya 3,6 juta ini MAHAL dan NOT WORTHED. Saya juga ogah.
Tapi mari dengar cerita saya.
Biasanya, di event-event lari yang saya ikuti terutama di luar pulau, istri saya selalu minta ikut. Bukan ikutan lari, tapi ikutan nebeng jalan-jalan, biar bisa ngerasain naik pesawat katanya. Iya juga sih, istri saya hanya ibu rumah tangga yang sehari-harinya cuma mengorbit di rumah-pasar-rumah-pasar aja. Maka ketika ada kesempatan plesir, pasti dia nyambar kayak garong.
Sampai suatu hari, waktu saya bilang mau daftar HM di salah satu event di Jakarta, seperti biasa dia juga minta ikut. Tapi kali ini bukan sekedar ikut, dia minta didaftarin lari 10K juga.
Meskipun gak yakin, ya saya daftarkan saja. Padahal saya tau betul istri saya bukan tipe orang yang suka lari. Jangankan lari 10 km, saya ajak jalan kaki 1 km saja ngomelnya bisa 2 jam. Hobinya adalah masak dan makan, tapi cita-citanya mau tetap langsing singset. Jam tidurnya lebih larut dari saya, dan semua yang berbau aktifitas fisik yang melelahkan pasti dia hindari, misalnya: dorong mobil, gali sumur dan manjat tebing.
Maka setelah saya daftarkan, saya hanya meminta 1 hal dari dia, “Sayang, apapun yang terjadi saat race nanti, plis babe, plis… jangan sampai kamu kejang-kejang lalu pingsan di tengah jalan.”
Dan dia setuju.
Bertransformasi Gara-gara Lari
Maka sembari menunggu race-day yang 3 bulan lagi, mulai lah dia sering jalan keliling kompleks, seminggu 3-4 kali. Di hari-hari pertama, dia mengaku badannya serasa habis dikeroyok warga sekompleks. Sakit di sana sini, pegal di mana-mana. Tapi demi tekadnya untuk tidak kejang-kejang saat race-day nanti, dia tidak menyerah.
Di hari-hari tertentu, dia serius menjaga pola istirahatnya. Katanya sih supaya bisa bugar dan siap untuk latihan. Termasuk menjaga pola makan supaya punya energi yang cukup untuk persiapan latihan berikutnya.
Istri saya jadi sering riset dan baca mengenai ‘hal yang perlu dilakukan’ dan ‘yang perlu dihindari’ saat race-day. Mulai dari cara berlari yang benar hingga warna baju yang cocok buat foto di garis finish. Termasuk tentang istilah-istilah gak penting yang saya pun baru dengar, seperti: Gait, Bonk, Clydesdale, DOMS dan Pylometrics.. Itu apa? Dengarnya aja susah, apalagi nulisnya.
Nutrisinya juga makin terkontrol. Konsumsi karbohidrat, protein dan lemak terprogram dengan baik. Hari ini makan ini, besok makan itu. Tentu saja kami (saya dan anak-anak) ikut-ikutan kena imbas. Kami jadi ikut-ikutan sehat.
Tanpa istri saya sadari, dia sudah memprogram otaknya untuk siap secara fisik dan mental menghadapi race-day. Kalau ditotal-total, istri saya udah lari ratusan kilometer. Padahal di race-day nanti cuma perlu lari 10 km aja. Dia berhasil menjaga berat badan ideal dan obviously menambah massa otot (ini bisa kita hitung di tempat fitnes atau gym terdekat), keluhan pusing-pusingnya berkurang drastis, insomnia hilang, kebugaran dan staminanya meningkat dan secara fisik, hmm…
Istri saya menjadi orang yang sangat positif hanya dalam 3 bulan saja. Dia jadi peduli dengan kesehatannya dan kesehatan orang-orang di sekitarnya.
Race-day Tiba
Saat race-day, ternyata apa yang saya khawatirkan tidak terjadi. Istri saya gak kolaps sambil cakar-cakar aspal di tengah jalan. Yang ada, dia lari sambil menikmati rute dengan riang gembira. Tanpa beban, hanya kebahagiaan. Saya finish FM, istri saya finish 10K. Kata istri saya, sesungguhnya race-day adalah hari leba-RUN. Lebarannya para pelari. Hari di mana para pelari merayakan keberhasilannya setelah melewati hari-hari latihan yang penuh perjuangan.
Well, she’s right. Maka ketika ada peserta lari yang saat di lintasan hanya berjalan pelan, atau berlari kecil, dengan penampilan penuh aksesoris gak penting dan sibuk foto-foto, jangan bully mereka. Kita gak tahu apa yang sudah mereka lewati hingga mereka bisa ada di sana. Apapun itu, mereka sudah ada di lintasan lari sebelum matahari terbit, jelas lebih baik dari kebanyakan orang yang mungkin masih tidur di pagi buta. Mereka hari itu sedang merayakan keberhasilannya melewati hari-hari latihan yang melelahkan, sama seperti istri saya yang pada race-day seakan merayakan hari lebaRUN-nya. They deserve it.
Bicara untung-rugi, Istri saya sudah untung banyak bahkan sebelum race-day. Biaya registrasi dan akomodasi yang saya sebutkan tadi menjadi gak ada artinya dibanding benefit kesehatan dan manfaat yang bisa kami dapatkan. It’s priceless.
Kesehatan menjadi salah satu hal termahal yang mungkin tidak kita sadari, sampai suatu hari ketika kita harus membayar mahal demi bisa menyambung hidup menit demi menit. Maka benarlah sabda Baginda ketika beliau berkata pada sahabatnya Ibnu Abbas, “Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu darinya: KESEHATAN dan WAKTU LUANG.”
Jadi, olahraga lari sekarang mahal? Jawabannya: relatif. Tergantung benefit apa yang bisa anda panen.