Blog

Olympiasel 2013 dan Filosofi Sepakbola

Tim sepakbola Area 4 Olympiasel 2013

Tahun 2004 di Portugal, negara-negara adidaya sepakbola terbungkam. Siapa tidak kenal Inggris yang punya liga terbaik di dunia. Siapa pula yang peduli dengan Yunani? Tim dengan pemain kelas dua. Faktanya, di akhir hari turnamen, Yunani yang berdiri dengan kepala tegak.

 

 

“Lari ke arah luar kau! Jangan malah lari ke dalam. Bikin apa kau di sana kaya mesin giling, jangan kawe-kawe kalau bergerak! Pakai kakimu!” teriak coach Matur dari pinggir lapangan pada saya yang baru saja menerima bola passing. Saya berusaha menyembunyikan rasa letih. Namun dari luar, mereka yang bermain buruk sangat mudah terlihat.

Sejatinya saya harus lari menggiring bola menyisir sisi kanan lapangan. Membiarkan bek lawan mengejar saya sehingga terbuka ruang di sisi lain. Tapi saya limbung, energi seakan habis terkuras. Dengan mudah bola direbut lawan. Hingga akhirnya saya diganti di pertengahan babak kedua. Kami kalah 1-3 di pertandingan terakhir. Dengan mengantongi 8 poin hasil 2 kali menang, 2 kali seri dan sekali kalah, kami hanya bisa bawa pulang medali perunggu.

Ini adalah kali kedua saya terpilih masuk di tim sepakbola kontingen Area 4 dalam Olympiasel, olimpiade perusahaan tingkat nasional. Kami akan bertanding dengan sistem setengah kompetisi menghadapi 5 tim lain dari seluruh Indonesia di Jakarta. Sebagai tim dari Indonesia Timur, kami berangkat dengan optimisme tinggi. Juara adalah harga mati. Terlebih lagi, setengah dari tim kami -termasuk saya- adalah tim yang sama yang memenangkan status juara dalam turnamen nasional Futsal di perusahaan kami setahun sebelumnya.

Persiapan matang kami siapkan. Latih tanding juga kami agendakan. Semuanya terasa begitu meyakinkan. Kami terlena sehingga melupakan satu hal: ini adalah sepakbola. Bahwa sepakbola selalu menghadirkan banyak sisi di dalam dan luar lapangan. Bahwa sepakbola bukan melulu tentang kemenangan.

Tahun 2004 di Portugal, negara-negara adidaya sepakbola terbungkam. Siapa tidak kenal Inggris yang punya liga terbaik di dunia. Atau Italia, Spanyol, Jerman dan Belanda? Siapa pula yang peduli dengan Yunani? Tim dengan pemain kelas dua yang nama-nama pemain mereka pun masih sangat asing terdengar. Faktanya, di akhir hari turnamen, Yunani berdiri dengan kepala tegak. Mengangkat tinggi-tinggi piala Euro 2004 mengangkangi semua tim lain. Convetti, kembang api dan semua persiapan kemenangan yang tadinya disiapkan untuk tuan rumah Portugal, harus mereka relakan dinikmati oleh Yunani. Bendera Yunani berkibaran. Fans mereka pun bersorak: Ole, ole, Hellas!

Tahun 2012, Yunani mengulanginya lagi saat melawan Rusia di Piala Eropa 2012. Tercatat dalam statistik, Rusia melepaskan 13 tembakan ke arah gawang, sedangkan Yunani hanya satu kali. Toh, akhirnya Yunani yang menjebol gawang Rusia. ”Mereka tidak ingin apa-apa dan tidak bisa apa-apa,” kata Dick Advocaat, pelatih Rusia jengkel. Yunani datang dengan membawa misi sederhana. Alih-alih mempersiapkan diri untuk memenangi pertandingan, mereka memilih mempersiapkan diri agar tidak kalah. Dituduh mengusung sepakbola anti modern, Otto Rehhagel dengan lugas menjawab, ”modern adalah siapa yang menang.” Ada benarnya, apa gunanya bermain modern jika akhirnya kalah?

Begitu banyak contoh lain dalam sepakbola bahwa betapa tim yang lebih “siap menang” akhirnya kalah dari tim yang lebih “siap tidak kalah”. Paradigma menang dan tidak kalah adalah dua hal yang berbeda. Bila diwujudkan, ”siap tidak kalah” akan menjelma menjadi sepak bola negatif. Orang sering sinis terhadap jenis sepak bola ini. Namun terbukti bahwa kenegatifan itu juga mempunyai sisi positif. Ingatlah ketika Intenazionale menunjukkannya di tahun 2010. Di tangan Jose Mourinho, Internazionale disebut sebagai tim paling negatif dalam bermain bola. Menghadapi tim besar seperti Chelsea, Barcelona dan Muenchen, Internazionale tidak mengusung misi juara. Mereka hanya bermain agar tidak kalah. Namun ternyata Internazionale lah yang menjadi juara Liga Champions 2010, sekaligus mengawinkannya dengan Juara Liga Italia dan Piala Copa di tahun yang sama.

Begitu pula ketika Chelsea melawan Bayern Muenchen dalam final Liga Champions 2012 tahun lalu. Tampil di kandang sendiri, Bayern menyerang habis-habisan gawang Chelsea. Bayern bermain untuk menang. Sementara Chelsea, hanya menunggu sambil mempertahankan disiplin tinggi, tidak membiarkan siapapun dalam tim melakukan kesalahan. Chelsea hanya bermain agar tidak kalah. Namun pada akhirnya tim asuhan Roberto Di Matteo-lah yang juara.

*****

Peluit panjang ditiup wasit. Pertandingan terakhir tidak membantu kami. Dengan tertunduk kami menyeret kaki keluar lapangan menuju ruang ganti. Di sana, lama kami duduk terdiam dengan sesekali menggeleng, mengutuki ketidak-berhasilan kami membawa pulang piala juara. Penyesalan kami semakin besar karena dari awal kami memang tidak siap kalah. Jangankan berstatus juara 3, juara 2 pun tidak pernah menjadi target kami. Di sinilah letak kesalahan kami. Kami hanya mempersiapkan diri untuk “menang”.

Sambil mengatur nada suaranya, Coach memberi pengarahan bahwa ketika sebuah tim sepakbola mempersiapkan diri agar tidak kalah, maka sebelum pertandingan dimulai, tim lawan sudah mempunyai masalah besar: mereka tidak akan menang. Sebaliknya ketika sebuah tim sepakbola hanya mempersiapkan diri untuk menang, tim lawan juga selalu punya pilihan untuk menang.

Dengan segala kebesaran hati, kami mengakui kekalahan kami. Tim Area 1 bermain sempurna, nyaris tanpa kesalahan. Begitu pula dengan tim juara 2, HQ-A yang bermain kesetanan. Kesalahan sepenuhnya ada pada tim kami. Kekalahan ini menyadarkan kami bahwa kedigdayaan tidak abadi. Mereka yang berada di posisi juara cenderung tidak menyadari bahwa lawan semakin hari semakin kuat. Dan ketika kekuatan bisa terimbangi, roda akan terputar untuk tim yang lebih siap.

Kami harus lebih siap di turnamen berikutnya. Siap untuk “menang” dan siap untuk “tidak kalah”.

2 comments on “Olympiasel 2013 dan Filosofi Sepakbola

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *