Musim hujan tahun ini akan segera berganti panas. Tanah dan dedaunan basah segera menjadi pemandangan yang akan saya rindukan. Entah kapan lagi bisa menikmati halaman yang tergenang air, bebek yang buang kotoran di mana-mana setelah berkubang di pekarangan dan Daeng Malik yang sibuk membetulkan tenda terpal yang tertiup angin di depan rumahnya.
Rumah kami tanpa pagar. Jalanan yang tidak begitu besar hanya terpisah selokan kecil dari pintu depan kami. Saking dekatnya, saya bisa mendengar bunyi rantai sepeda tukang sayur yang melintas setiap hari selepas adzan subuh. Jalanan kecil ini menghubungkan kami dengan jalan utama menuju daerah wisata Malino. Tidak seperti jalan utama, jalanan depan rumah kami lebih kecil dan tanpa lampu jalan. Lingkungan kami rimbun oleh pepohonan yang mungkin usianya lebih tua dari Daeng Malik, orang yang saya anggap paling tua di kampung ini saking rentanya.
Saya memang tidak tinggal di kota besar. Bontomarannu, kampung kecil di kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan menjadi tempat tinggal saya 5 tahun terakhir. Jauh dari hiruk pikuk kota, jauh dari kemacetan lalu lintas dan jauh dari kantor tempat saya bekerja. Sejak menikah, saya memutuskan untuk tinggal di kampung istri demi mengabulkan keinginannya dekat dengan ibunya, mertua saya. Satu dari beberapa alasan yang bisa menahan saya tinggal lebih lama di sini.
Ada situs tambang beberapa ratus meter ke arah utara dari rumah kami. Di sana ada industri penggalian pasir, tanah, batu kali dan pemecah batu. Setiap hari akan ada truk pengangkut yang hilir mudik mengambil dan mengantar pasir, tanah dan batu-batu ini. Satu-satunya jalanan dari dan menuju situs tambang adalah jalanan depan rumah kami. Jalanan yang berlubang di kiri dan kanan karena meladeni muatan truk setiap hari.
Istri saya masih berumur 10 tahun saat jalanan ini diaspal terakhir kali. Saat itu, katanya, dia berebut naik sepeda dengan temannya demi menikmati jalan yang baru saja diaspal malam harinya. Belasan tahun berlalu, jalanan kami belum juga diaspal kembali.
Di musim panas, jalanan depan rumah kami adalah sumber debu. Jalanan yang berlubang di mana-mana ini penuh dengan tumpahan muatan pasir dan kerikil dari truk yang melintas dengan arogan. Setiap kali truk melintas, debu beterbangan menebar rasa frustasi bagi kami. Intensitas debu ini luar biasa banyak. Biarkan beberapa truk melintas, maka halaman rumah kami akan tertutup debu yang sangat terasa di telapak kaki. Saya pernah bertanya pada petugas retribusi, berapa rupiah yang berhasil dia kumpulkan dalam sehari. 400 sampai 500 ribu rupiah. Dengan 2000 rupiah pertruk, itu artinya ada dua ratusan truk setiap hari. Dan dengan hanya ada satu jalan dari dan ke situs tambang, berarti truk-truk ini melintas empat ratus kali setiap hari di depan rumah kami. Sepanjang pekan, sepanjang tahun.
Di musim panas, pepohonan kami tidak sehijau seharusnya. Daunnya tertutup tumpukan debu. Hitam dan kotor. Atap rumah juga begitu, penuh debu. Tidak ada anak-anak yang bermain di pekarangan depan rumah saat musim panas. Truk-truk ini tidak pernah peduli. Untunglah hampir setiap rumah punya halaman belakang.
Saya tahu saya sedang mempertaruhkan kesehatan keluarga. Tinggal di lingkungan seperti ini jelas merugikan kami. Entah kapan siklus seperti ini berakhir. Bila tiba musim debu -begitu kami menyebutnya- maka penyakit saluran pernafasan menjadi hal yang maklum. Sebaliknya di musim hujan, jalanan depan rumah kami becek. Air menggenang mengisi lubang-lubang di tengah jalan. Kabar baiknya daun-daun tampak lebih hijau dan segar, dan kami terbebas dari debu. Begitulah seterusnya.
Pindah rumah mungkin terdengar sebagai solusi. Sampai akhirnya saya temukan hal lain yang membuat saya bertahan di sini. Hal-hal kecil yang awalnya tidak terlalu saya peduli, justru menjadi alasan saya mencintai kampung ini. Semua orang saling menyapa setiap kali berpapasan. Di sawah, di jalan, di pasar, di mana pun. Semangat saling membantu sudah mendarah daging di setiap orang di kampung ini. Bila ada tetangga yang kesusahan, seisi kampung seakan berebut membantu. Kami saling mengenal satu sama lain bukan hanya di lingkungan tetangga, bahkan sampai ke kampung sebelah. Saya ingat pernah pulang membawa dua kantong besar rambutan dari kampung di seberang sungai Jeneberang. Seorang ibu yang belakangan saya kenal sebagai Daeng Baji menghadiahkannya untuk saya, hanya karena dia mengaku kenal dengan orang tua istri saya.
Kami memang tinggal di kampung. Namun kami punya sesuatu yang mungkin sudah langka di kota besar. Musim hujan tahun ini mungkin segera berakhir. Berubah menjadi musim debu seperti yang biasa kami dapati di musim panas. Namun itu tidak mengubah keakraban kami orang-orang kampung. Kami punya kehangatan yang terus terjaga. Kami tetap solid. Kami tidak egois.
Musim panas segera tiba. Tanah dan dedaunan basah segera menjadi pemandangan yang saya rindukan di kampung ini. Sampai berjumpa kembali, Hujan.
Paling enak emang hidup dikampung…
Hai, Ucaa.. Ternyata kita tetanggaan yah. Kalau tidak baca postingan ini, saya mungkin takkan pernah tau. Bikin Kelas Inspirasi Gowa tahun depan, yuuuuk. Palopo sudah mulai tertarik.
Terbayang debu dan beceknya :D.
Keramahan dan saling mengenal antar tetangga sudah jarang ada di kota besar, terutama di Jakarta. Dengan depan rumah saja jangankan untuk ngobrol panjang lebar, hanya untuk tersenyum kepada tetangga saja tidak mau bahkan buang muka. Pasti senang kalau memang antar tentangga rukun dan bersaudara ya.
Salam kenal
Iya kakak. Musim hujan becek. Musim panas berdebu.
Tapi tetap bahagia.
Jadi pengen tinggal di kampung pas baca tulisan ini. 🙁
Idupp kampung..sama
Tapi mang lumayan parah om.. 400 kali lewat sehari… Cuman nuansa gotong royong meluluhkan debu… Hhhh 😉
Kata orang, hidup yang tidak pernah dipertaruhkan takkan memberi kemenangan apa-apa.
Memang menyenangkan ya hidup di kampung itu 🙂
Banget..
Saya suka gaya tulisannya. Enak dibaca. Mengalir. Saya dulu sering lewat kampung ini kalau pulang atau pergi ke sekolah waktu SMU. Toleransi, gotong royong, keakraban dan sebagainya yang banyak di buku PKN sepertinya memang sudah langka di kota namun tetap menjamur di kampung.
Makasih kak Inart.
Iya, suasana seperti itu memang langka banget di kota besar. Miris yah..
Aku jadi ingat saat aku KKN di sebuah desa di Purworejo. Desa itu bisa dibilang terpencil… karena jika saat hujan tiba, jalan penghubung ke kecamatan akan terputus. Sementara saat musim kemarau… debunya luar biasa, maklum dekat dengan pantai. Hasilnya, selama musim kemarau aku menjalani KKN dengan terbatuk2 yang tiada henti karena alergi debu itu. Tapiiii… aku kerasan banget tinggal disana 😀
Terkesan karena kehangatan kampung, ya kan?
Hal serupa juga saya rasakan di kampung halaman saya di Tanah Duri Enrekang. Setiap tempat memang unik, desa dengan keunikan khasnya. Dimana semua serba alami dan masih menjunjung rasa toleransi yang tinggi. Bersenanglah yang masih punya kampung halaman. Heheh. Salam Kenal Daeng 😉
eh truk besar itu selalu hilir mudik yah? wow :D. ini lah dinamika perkotaan di mana kita tidak tau siapa tetangga kita, hal yg sama di kampungku di tengara, tetangga itu jarak nya sejauh mata memandang, beda dgn di kota hehe
biasana itu kalo jelek jalanan baru belum pernah diperbaiki ada papan informasi “kami sudah kenyang makan debu” hehehe #salamucok
Jauhnya pale rumah ta’. Bahagia sekali bisa membahagiakan ibu, insya Allah berkah.
Saya pecinta hujan dan suka orang2 kampung yang ramah 😀
Keramahan dan saling mengenal adalah 2 hal yang jarang ditemui di kota :’. Btw, retribusi truk itu legal atau ndak, kak?
Aku senang mendengar bahwa gaya hidup bergotong royong masih dipertahankan. Aku jadi merindukan tinggal di kampung dan bergaul dengan orang-orang yang santun dan sederhana. Yang menjunjung tinggi etika dan kemanusiaan. Nice artikel.
Saya justru sangat ingin pindah ke daerah sana kak ^^ Sudah sumpek dengan Makassar, belantara beton itu sudah membuat saya sesak nafas.
halo Shofy Syifaa, hati2 ya klo main depan rumah, banyak mobil truk lewat 😀
selalu senang dengan bau alam setelah hujan. terasa segar 😀
waaah polusi sekali tampaknya… jangan lupa jaga kesehatan ya, sering pakai masker kalau di jalanan 🙂 hati2 dan berdoa, jalannya jelek sekali.
tapi saya suka sikap penduduknya yang masih ramah dan mau menyapa 🙂
sudah jarang kan hal tersebut terjadi sekarang ini?
Oiya, kunjungi kisah saya juga ya 🙂 http://argalitha.blogspot.com/2013/04/sekitar-rumah-ada-banyak-jasa.html
saya tunggu loh. Kalau bisa diberi kritik saran juga. Terima kasih banyak ^^
Suasana kampung memang bikin kangen,suasana kekeluargaan dan hampir semua orang saling mengenal.pantesan om ucha tidak mau pindah.