Writer’s block is a condition, primarily associated with writing as a profession, in which an author loses the ability to produce new work (Wikipedia).
Bagi sebagian blogger, mengupdate blog dengan konten adalah hobi. Bermutu atau tidak, asli atau mengutip, panjang atau ringkas, tidak lebih sebagai tempat menumpahkan ide, pujian, hujatan atau sekedar menunjukkan eksistensi di dunia maya. Bagi sebagian yang lain, blogger adalah profesi sehingga aktifitas menulis menjadi sumber penghasilan. Entah sebagai citizen reporter, memasarkan produk atau sebagai publisher.
Membuat tulisan di blog adalah esensi dari menjadi seorang blogger. Anggap saja di titik ini kita sependapat.
Saya berada di posisi pertama: menulis sebagai hobi. Menulis menjadi salah satu kegiatan favorit saya sejak saya mulai bisa menulis. Apa saja yang terjadi atau terlintas di pikiran biasanya akan saya tulis. Di halaman belakang buku tulis matematika, di bagian catatan kaki buku sejarah, di dinding wc sekolah, di buku diary —iya, saya punya diary— bahkan di buku absensi milik guru wali kelas.
Dan semenjak saya mengenal blog, di sinilah saya sekarang.
Saya mengalami kronologi evolusi bahasa. Bahwa bahasa berevolusi dari lisan ke tulisan. Budaya bergerak dari ‘orality’ ke ‘literacy’. Transisi menulis terus saya alami. Gaya menulis, penggunaan tanda baca, penyusunan kalimat, etika menulis, formalitas tulisan bahkan penggunaan kata ganti juga mengalami beberapa kali perubahan. Dulu saya menggunakan nama sendiri sebagai kata ganti orang pertama. Saya akan memilih menulis “hari ini Ucha sakit” daripada “hari ini saya sakit”. Dan seiring waktu dan pertimbangan kepantasan, kata ganti ini juga bertransisi: aku, gue, saya. Semua masih bisa saya telusuri dengan membaca kembali tulisan saya di catatan kaki beberapa buku sekolah yang masih tersimpan di gudang, di belakang sampul buku matematika zaman SMP, di buku diary dan di blog ini. Inilah kenapa saya membiarkan arsip tulisan saya tetap seperti saat tulisan itu dibuat.
Dulu ketika ingin menulis saya hanya menulis seperti biasa. Saya menulis secara sporadis tanpa peduli bagaimana hasil tulisan saya jika dibaca ulang. Saya tidak peduli pada pembaca. Saya menulis tanpa intonasi. Saya bisa menghasilkan beberapa tulisan di blog dalam sehari dengan topik yang sama. Saya bahkan menulis sesuatu hanya karena mendengar suara sendawa di rumah makan.
Justru di sinilah letak masalahnya. Semakin saya mengerti bagaimana cara menulis yang baik dan benar semakin takut rasanya untuk menulis. Ada beban setiap kali akan mulai menulis sesuatu. Ide yang terlintas buyar begitu saja tepat ketika saya mulai menulis kalimat pertama. Seakan-akan tulisan saya akan dibaca semua orang begitu saya menekan tombol publish. Writer’s block, sindrom penulis putus asa.
Penulis? Saya penulis? Menurut Wikipedia, saya seharusnya tidak termasuk penulis. Tapi karena Penulis adalah sebutan bagi orang yang melakukan pekerjaan menulis, maka saya anggap diri saya sebagai penulis.
penulis adalah pengarang, penggubah, prosais, pujangga, sastrawan. Berpadan kata pula dengan pencatat, carik (Jawa), dabir (arkais), juru tulis, katib (Arab), kerani, klerek (arkais), panitera, sekretaris, setia usaha. Pelukis dan penggambar kadangkala juga dimasukkan sebagai padan kata penulis (Wikipedia).
Sampai akhirnya saya tidak sengaja membaca tulisan tentang Why I Blog? Bahwa menulis itu adalah ekspresi. Dan dengan apa yang saya alami, saya ternyata terjebak dalam kondisi takut berkespresi. Saya takut berekspresi. Sederhananya, saya takut berekspresi.
Dan akhirnya saya pun menulis lagi.
justru di situ sebenarnya kekuatan blog; tidak ada tekanan untuk menghasilkan tulisan ‘sempurna’; semua terserah pada pemiliknya.
selamat menulis kembali 😀
Iya. Betul. Tapi kadang formalitas tulisan menjadi penting ketika tulisan kita menjadi konsumsi umum.
Permisi, cuman numpang mau ngeshare aja nih.
ada info contest menulis artikel “Share and Feel OKI Printer Contest”.
Hadiahnya lumayan nih buat teman” yang berminat, ada 2 buah printer OKI laser Jet (@Rp900.000) dan voucher belanja di anugrah pratama senilai Rp. 300.000. Info lengkapnya coba simak di http://www.anugrahpratama.com/shop/blog/77/
Beberapa orang memang mahir menyentak khalayak lewat diksi bercampur perspektif dahsyat. Terlebih, mereka rajin mengisi ide berbekal bacaan, dan tetap percaya pada tata bahasa sebagai senjata maut ketika maju memerangi kebosanan pembaca. Tulisan mereka seolah punya nyawa, hidup, bernafas seperti orang pada umumnya.
Inilah orang-orang yang–saya terutama–harus kita cari untuk belajar menghasilkan tulisan terbaik.
Bila blogging adalah proses ekspresi diri. Maka, skill menulis menjadikan hasil akhirnya sebagai lukisan berharga, enak dipelototi berulang-ulang, dan membuat hati kenyang.
Seperti hari ini, saya belajar dari tulisan-tulisan Anda. Salam Kenal.
Terimakasih.
Kita sama-sama belajar.
sejak awal blogging, niadnya cuma hobi.. pengen nulis keseharian di blog… ga kerasa udah 10 tahun ngeblog.. wiiihh..
Hihihi menulis ya menulis aja, gak usah pusing tentang tanda baca dan semacamnya, lah ini blog-blog kamu ^^ Kalau ada yang gak suka ya tinggal gak usah mampir ^^
aku kalau mau nulis, ya nulis saja mas, kalau byk mikir nanti nggak jadi jadi nulisnya 🙂
Menulis saja sekarang ini, karena masih dalam tahap belajar 🙂
Kalau aku, dari awal ngeblog sudah memilih kata “aku” utk menyebut diriku dan tidak aku rubah sampai sekarang.
Dan… dari dulu sampai sekarang aku juga masih sering nulis hal yang remeh temeh, yang penting masih bisa nulis 🙂