Saya sedang bersiap untuk jadual kerja malam. Beberapa hari ini divisi tempat saya bekerja memang sedang dalam puncak kesibukan. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 ketika saya memutuskan untuk mampir di sebuah warung coto Makassar di jalan Pettarani. Makan malam yang sudah terlambat.
Di depan warung coto yang sudah mulai sepi, duduk seorang ibu berusia sekitar 40an. Di pangkuannya tertidur seorang bayi dengan pakaian yang tidak cukup melindungi tubuhnya dari dingin kota Makassar yang agak gerimis. Di depannya, sebuah kaleng cat bekas yang kosong diletakkan begitu saja. Ibu dan bayi ini adalah tipikal pengemis jalanan yang sudah marak di kota ini.
Satu persatu pengunjung warung coto mulai pulang, melintas begitu saja di hadapan si Ibu pengemis yang masih dalam posisi duduk tertunduk. Dia mengantuk. Sesekali matanya terpejam sambil terangguk-angguk. Saya memandang dari dalam mobil dengan perasaan bercampur aduk.
Saya tidak tahu apakah si ibu adalah benar ibu dari bayi yang dipangkunya. Saya hampir tidak mempedulikan itu. Tidak terlihat ekspresi meminta dengan penuh harap dari si Ibu kepada orang-orang yang melintas di hadapannya. Si Ibu hanya tertunduk diam. Mungkin dia sudah lelah. Pasrah.
Udara malam yang dingin, perut yang lapar dan suasana melankolis membuat saya tertarik memperhatikan si ibu. Segala kemungkinan terlintas. Dan secara langsung mempengaruhi tindakan yang akan saya lakukan terhadap si Ibu dengan situasi ini. Apakah saya perlu memberinya uang? mungkin si Ibu hanya sindikat pengemis jadi-jadian yang beraksi dengan modus menggendong bayi. Atau saya biarkan saja seperti yang dilakukan pengunjung lain? Bisa jadi si ibu adalah orang yang tidak punya pilihan lain selain mengemis. Saya juga punya ibu, dan istri, dan saudara perempuan.
Lalu teringat anak saya, Syifa yang mungkin seumuran dengan si bayi dalam gendongannya. Syifa sedikit lebih gemuk. Mungkin saat ini Syifa sedang tertidur dalam pelukan Ummi. Hangat dan kenyang.
Saya segera turun dari mobil.
******
Kami duduk berseberangan dalam satu meja. Si Ibu dengan sangat lahapnya menikmati seporsi coto dan beberapa ketupat. Dia sedikit gemetar. Saya yakin si Ibu sangat kelaparan. Tangan kirinya menggendong erat si bayi yang masih saja terlelap. Kami tidak banyak berbicara.
Setelah menghabiskan makanannya, si ibu berterimakasih lalu berdiri dengan sungkan. Saya tidak bisa memaksanya duduk lebih lama. Kelelahan, katanya. Si Ibu lalu kembali ke tempatnya duduk tadi, di emperan warung. Dari jauh saya menyaksikan si ibu bersandar di dinding sambil mengatur kertas koran alas duduknya, mendiamkan dengan lembut si bayi yang rupanya terbangun.
Saya baru saja mengalami peristiwa istimewa malam ini. Peristiwa yang mampu mengubur keluh kesah yang selama ini menjadi beban. Membuat saya tidak berhenti mengucap syukur. Terlepas dari anjuran pemerintah tentang bagaimana menyikapi pengemis jalanan, saya merasa bahagia bisa berbagi.
Terimakasih. Ibu adalah teman makan malam yang istimewa hari ini.
Love doesn’t make the world go round. Love is what makes the ride worthwhile.
hiks…ceritanya mengharukan 🙁
jadi ingat kata bijak :
manusia kaya dari apa yg dia miliki, tapi manusia bahagia dari apa yang dia bagi..
Iye daeng. Begitulah realita kota Makassar.
Banyak pelajaran yang bisa diambil dari hal yang dianggap sepele.
Saya juga baru pulang makan coto malam ini eh dini hari ini maksudnya. Tapi bukan coto di pettarani, saya di coto gagak *kok jadi cerita coto*
Ah iya, jadi ingat beberapa bulan yang lalu. Tempatnya di coto paraikatte pettarani, saya dan Papa Rani sedang menunggu coto yang kami pesan, tiba2 kami dihampiri 2 orang anak yg menawarkan buku2 bacaan u/ dijual. Kami tidak membeli satupun dagangan anak itu. Tapi Papa Rani memesankan 2 porsi coto untuk mereka. Dibungkus saja.. kata anak2 itu.. Mereka bilang mau dibawakan ke ibunya di rumah. Akhirnya setelah memberikan bungkusan coto, anak2 itu mengucapkan terima kasih dan beranjak pergi.
Walau hanya dengan 2 porsi coto rasanya senang sekali bisa membuat mereka tersenyum :’)
Mengharukan si ibu itu, mungkin ngak ada pilihan baginya. Dan apa yang kakak bagi itu adalah kebahagian tersediri, sedari tadi mungkin ibu ini membayangkan bagaimana nikmat coto makassar itu, dan Alhamdullilah ada kakak yg peka membaca situasi.
Betul kata Kakanda Daeng Ipul “manusia kaya dari apa yg dia miliki, tapi manusia bahagia dari apa yang dia bagi..”, betapa indahnya berbagi. semoga ibu itu merasakan damai dan bahagia kelak, dan kakak juga tentunya, amin.
Saya sering mengalami dilema ketika menjumpai ibu-ibu/anak-anak pengemis di jalanan. Memberi atau tidak. Memberi berarti melanggengkan mereka di jalanan. Tidak memberi jadi terbayang bagaimana jika ibu atau adik saya yg ada dlm posisi mereka.
Terima kasih tuk tulisan menggugah ini, kini saya tahu harus bagaimana jika dihadapkan dlm situasi seperti di atas.
terimakasih telah mengingatkan untuk peduli 🙂
ironis memang dengan masih banyaknya pengemis jalanan. Tapi bagaimanapun, mereka pada dasarnya tidak mau seperti itu.
Hmmm…Inspiratif mas. Kadang yang tak seberapa buat kita jadi luarbiasa buat orang lain 🙂
disaat kita mampu untuk berbagi maka berbagilah InsyaAllah Allah akan meringankan beban hidup kita, seperti kita meringankan beban hidup hamba-Nya
betul-betul istimewa, terkadang memang banyak sekali hal-hal yang terlintas di benak kita pada saat kita hendak memberi. sangat memberi pelajaran buat saya.
Semoga Allah selalu melindungi, memberi rizki yang baik & memberikan kekuatan bagi semua wanita yang berjuang untuk bertahan hidup di luar sana dengan tetap menjaga anak2 mereka tanpa bantuan siapa pun. Dengan tidak berfikiran buruk bahwa mereka adalah sindikat organisasi pengemis dll seperti yang marak diberitakan… kenyataannya banyak sekali kaum wanita yang dihadapkan pada pilihan seperti itu, tidak punya pilihan selain mengemis ATAU dipaksa (dgn kekerasan) untuk mengemis… SUBHANALLAH
kondisi seperti ini sering membuat serba salah, di satu sisi kalau ngasih duit akan menambah banyak komunitas pengemis, di sisi lain kita tidak tahu, siapa yang mengemis karena benar2 butuh atau yang menjadikan mengemis suatu pekerjaan
Betul banget.
Tapi apa tidak sebaiknya kita santuni saja? terlepas dari statusnya sebagai pengemis gadungan atau tidak.
Allah maha pengasih dan penyayang tanpa membeda-bedakan, maka ringankanlah beban sesama kita yang kurang beruntung untuk sedikit berbagi.