Aroma dingin sudah langsung terasa begitu saya tiba di airport Schiphol, Amsterdam. Mbak Elsa, sahabat dunia maya yang bertemu pun saya belum pernah, sudah menunggu di luar airport sejak saya SMS bahwa saya baru saja mendarat. Setelah menghadap petugas imigrasi dan paspor saya distempel, saya akhirnya bertemu dengan mbak Elsa, salah satu figur utama di blogfam yang terkenal dengan nama mbak Sa.
Saat itu belum pukul 6 pagi. Entah sejak pukul berapa mbak Sa menunggu kedatangan saya di Schiphol. Suhu di luar airport sekitar -2° Celcius. Cukup dingin untuk membuat telapak tangan dan daun telinga saya mati rasa. Saat itu masih bulan Februari. Musim dingin baru saja berlalu, menanti musim semi tiba. Saya mengeluarkan jaket dari backpack, sarung tangan, topi dan syal.
Kami naik train, trem dan bus yang semuanya sangat simpel. Untuk membeli tiket, cukup dengan memasukkan uang ke mesin dan tiket akan keluar sesuai rute yang kita pesan. Praktis namun akan sangat merepotkan buat saya yang tidak bisa sama sekali berbahasa Belanda. Mbak Sa yang menghandle semuanya. Danke.
Kabut mendominasi landscape, membuat mata saya harus bekerja ekstra keras supaya bisa menikmati pemandangan dari jendela kereta. Nyaris belum ada aktifitas di jalan-jalan. Hanya satu-dua orang bersepeda atau lari pagi. Amsterdam seperti kota dongeng buat saya. Bangunan-bangunannya unik. Sangat Eropa. Tidak terbersit sedikit pun bahwa mereka di Amsterdam punya hubungan darah dengan mereka yang menjajah negara saya 350 tahun lamanya. Yang saya ingat saat itu hanya dingin, kabut, tulip dan teh hangat.
Kami menuju Amsterdam Arena. Stadion megah milik klub sepakbola Ajax Amsterdam. Rumputnya luar biasa rapi. Bahkan di lapangan-lapangan lain di luar stadion, tempat pemain biasa melakukan latihan kecil, rumputnya terbuat dari bahan sintetis. Tidak ada bagian lapangan yang berlubang, atau rumputnya tidak rata seperti di Indonesia. Lalu ada toko merchandise besar di dekat pintu masuknya. Tampak jersey Ajax terpajang dengan nama besar Stekelenburg, Wesley Sneijder, Huntelaar hingga Edgar Davids di punggungnya. Saya yakin beberapa musim dari sekarang, pemain-pemain ini mungkin sudah malang melintang ke klub lain, kita tunggu saja. Malam itu akan ada pertandingan antara tuan rumah Ajax menjamu SC Heerenveen di liga Eredivisie. Suasana riuh dari suporter tim tamu yang nampaknya bermalam di sekitar stadion sudah terasa sejak sepagi saya tiba di sana.
Selanjutnya kami melintasi Amsterdam canals. Di atasnya melintang jembatan-jembatan cantik dengan banyak sepeda terparkir di atasnya. Orang-orang di sekitar sini mungkin gemar sekali bersepeda. Kanal-kanal ini jumlahnya sangat banyak. Tidak heran bila Amsterdam dijuluki sebagai “The Venice of the North”. Sayangnya kami tidak sempat menikmati boat cruise atau canal tour. Di pusat kota, ada setidaknya 4 kanal utama yaitu Prinsengracht, Herengracht, Keizersgracht dan kanal Singel.
Tiba-tiba saya kaget luar biasa. Di sekeliling saya adalah bangunan berspanduk erotis dan gambar vulgar. Bahkan ada yang memang menjadikan manusia asli sebagai pajangan etalase. Wanita berbusana sangat minim memeragakan gerakan sensual. Dia membelakangi saya, lalu menundukkan badan. Sambil menggoyang-goyangkan pinggul dia menoleh ke arah kami. Sial, saya salah tingkah. Mbak Sa meminta saya untuk menyimpan kamera. “There is a strict no photography policy here,” katanya sambil memperkenalkan daerah itu sebagai Red Light District. Kompleks khusus yang ditujukan bagi para pemuja nafsu. Lampu-lampu jendela memang tampak merah mencolok, dekorasi toko juga didominasi merah. Sepanjang jalan saya menyaksikan toko-toko yang penuh dengan jadual pertunjukan vulgar, video hardcore, majalah dan mainan seks. Konon katanya, daerah ini memang menjadikan bir, pesta, dan seks untuk dijual.
Kami tiba di Dam Square dengan menaiki trem. Tampak bangunan besar berarsitektur abad medieval di depan kami, Royal Palace. Dulunya Royal Palace adalah kediaman keluarga kerajaan Belanda. Saat ini dimanfaatkan sebagai balai kota. Tepat di seberangnya ada hotel Krasnapolsky yang megah. Di sisi selatan Dam Square berdiri patung National Memorial, didirikan untuk mengenang tentara Belanda dan anggota perlawanan yang tewas dalam Perang Dunia 2. Dam Square adalah lokasi komando saat Napoleon dan pasukannya mengambil alih kota Amsterdam di tahun 1808. Burung merpati bebas berkeliaran di pelataran alun-alun Dam Square ini. Saya dan Mbak Sa berfoto di sana.
Tentu saja saya tidak melewatkan menyambangi museum lilin yang sangat terkenal itu, Madame Tussaud. Saking detailnya pengerjaan patung lilin, saya bisa melihat guratan urat di leher patung Johnny Depp yang berpakaian ala Captain Jack Sparrow.
Di depan museum lilin Madame Tussaud berdiri bangunan Nieuwe Kerk, gereja baru yang sering digunakan sebagai gedung kegiatan eksebisi. Di sebelahnya menjulang bangunan Beurs van Berlage, Bekas Stock Exchange yang juga sudah menjadi ruang pameran dan seni.
Satu hal yang mengusik saya di hari itu, orang-orang di sekeliling saya tampak dingin. Tidak ada sapaan, senyuman atau sekedar kontak mata. Mereka seakan tidak perduli dengan keberadaan orang lain di sekitarnya. Saya tiba-tiba membayangkan ada dalam adegan film action. Di tengah kerumunan orang di pelataran Dam Square, seorang laki-laki berjas hitam dam berkacamata tiba-tiba jatuh tersungkur. Kepalanya tertembus peluru entah dari mana. Kerumunan menghambur ke segala arah. Lalu sunyi. Menyisakan tubuh orang tadi sendiri di tengah pelataran di atas genangan darahnya sendiri. Sesaat kemudian burung-burung merpati kembali datang. Beberapa ekor hinggap di atas jasad orang tadi. Seperti tidak ada yang terjadi. Tidak ada yang peduli.
Saya sangat beruntung bertemu mbak Sa yang menemani keliling Amsterdam seharian. Tinggal di negeri orang ternyata tidak menghilangkan segala keramahtamahan khas Indonesia dari mbak Sa. Maafkan kerepotan yang terjadi seharian ya, Mbak.
kok error?
eh..
PENGEN!!!!!
waah asikk banget yah bisa going abroad.
kamu ndak ndeso kok lah aku malah blum pernah ke luar pengen ih gedung2 eropa cantik2 yah 😀
sama2..
moga bukan yg terakhir jalan2 ke eropa nya yaa.. 🙂
Saya terasa sudah di Norwegia dengan membaca tulisanmu prend … Saya baru tahu nikmatnya nasi sewaktu gak ada nasi di sana. Kamu mau mengatakan begitu kan ?
tawwaaaa… asiknya
pengen ku juga
iri ku dehh
mauka jugaaa
mana pale2 ole2nya 😀
hueheuheuheue
biar gimana pun
negeri sendiri selalu lebih baik
halo ucha..pa kabar? wah, thanks banget buat tinggalannya yang banyak banget. kemarin setelah ucha balik seminggu panas terus tuh, 15 derajad dee..sekarang suhu turun lagi dan dingin lagi..dasar spring boong2an hahaha..salam..cu
Test restoring backup.