Sejak menekuni olahraga lari tiga tahun terakhir, saya tidak pernah lari lebih dari 21 km. Selain karena usia yang sudah kepala tiga dan berekor empat, jarak 21 km rasanya sudah maksimal bagi pelari rekreasi seperti saya. Terakhir kali finish 21 km, kaki rasanya mau copot dari sendi-sendinya.
Puluhan medali menggantung di hanger yang sengaja saya set-up sebagai pajangan di ruang tamu. Mulai dari kategori 5K, 10K dan yang paling prestisius adalah 7 buah medali Half Marathon. Itu pun dapatnya dengan penuh perjuangan dan drama. Namun berapa pun banyaknya kategori lari yang saya ikuti, rasanya masih ada yang kurang kalau belum sampai di kategori Full Marathon. Meskipun saya sadar, saya mungkin tidak pernah mampu lari full marathon.
Kata Marathon awalnya merupakan nama sebuah daerah di Yunani. Pada tahun 490 SM, terjadi sebuah Pertempuran antara tentara Yunani melawan serangan pasukan Persia di sebuah teluk bernama Teluk Marathon. Setelah pertempuran usai dan dimenangkan oleh tentara Yunani, ada legenda mengenai Pheidippides, ia adalah pembawa pesan yang berlari tanpa henti dari Teluk Marathon menuju Athena untuk mengabarkan kemenangan Yunani pada sang Raja. Pheidippides berhasil sampai ke Yunani, tapi akhirnya meninggal karena kelelahan.
Melirik sejarahnya yang mengerikan ini (karena tokoh utamanya akhirnya tewas) tentunya bikin deg-deg-serr juga. Masa iya saya yang pelari rekreasi ini nekat ikutan Full Marathon. Tantangannya adalah waktu, kondisi kesehatan dan tentu saja ketahanan fisik. Sebagai pekerja kantoran yang fulltime, olahraga jelas hanya sesempatnya saja. Tapi namanya juga tekad, kesempatan tidak harus selalu kita tunggu, kesempatan harus kita ciptakan.
Secara mandiri, saya menyusun program latihan 16 minggu. Mulai dari latihan strength, lari tempo, lari interval, latihan core, hingga long run. Konsultasi ke sesama runner kantoran yang sudah pernah ikut full marathon, belajar melalui video online, hingga nyontek tips & trik dari atlet di internet. Yang paling berat adalah melawan rasa malas hari demi hari selama 4 bulan. Jatuh, bangun, sakit, sehat, latihan lagi, begitu seterusnya.
Di satu titik terkadang rasanya mau berhenti saja dan menerima kenyataan bahwa saya tidak akan pernah bisa lari full marathon.
Saya pun bertekad finish Full Marathon, setidaknya sekali seumur hidup. Resolusi pun saya tetapkan, dan 2019 adalah tahun yang saya pilih.
Secara mandiri, saya menyusun program latihan 16 minggu. Mulai dari latihan strength, lari tempo, lari interval, latihan core, hingga long run. Konsultasi ke sesama runner kantoran yang sudah pernah ikut full marathon, belajar melalui video online, hingga nyontek tips & trik dari atlet di internet. Yang paling berat adalah melawan rasa malas hari demi hari selama 4 bulan. Jatuh, bangun, sakit, sehat, latihan lagi, begitu seterusnya. Di satu titik terkadang rasanya mau berhenti saja dan menerima kenyataan bahwa saya tidak akan pernah bisa lari full marathon.

Hingga kemarin, 28 Juli 2019, di event Pocari Sweat Bandung Marathon 2019 mimpi saya terwujud. SAYA FINISH FULL MARATHON JUGAK DENGAN SANGAT NORAK! Meskipun waktunya tidak bagus-bagus amat, yang penting saya finish tanpa cedera dan baik-baik saja. Chiptime saya tercatat 5 jam 53 menit. Melintasi garis finish jadi momen yang sangat emosional buat saya. I commit my self to face the change. Like wiseman once said, “don’t quit, you’re already in pain, you’re already hurt, get a reward from it.”