Tidak ada yang berhasil meraih Medali Perak pada cabang olahraga Lompat Tinggi di Olimpade Tokyo tahun ini. Yang terjadi adalah dua peraih Medali Emas, dan satu Medali Perunggu.
Atlet Lompat Tinggi dari Qatar, Mutaz Essa Barshim dan Atlet Italia Gianmarco Tamberi berhasil memenangkan Medali Emas di Olimpiade Tokyo cabang Lompat Tinggi sebagai juara bersama. Sedangkan atlet Belarus, Maksim Nedasekau meraih Medali Perunggu.
Pada laga penentuan juara, Barshim dan Tamberi masing-masing berhasil mencapai lompatan 2,37 meter pada percobaan pertama, mengumpulkan poin yang sama dan tertinggi di antara pelompat lain. Keduanya tinggal saling mengalahkan untuk jadi juara satu dan dua. Gawang pun ditinggikan menjadi 2,39 meter dengan tiga kesempatan percobaan. Sudden-Death, atau kalau dalam istilah sepakbola, saatnya tendangan penalti.
Sesuai aturan, sudden-death ini akan terus berlangsung sampai ada yang menang atau ada yang menyerah. Ronde demi ronde pun berlalu dengan tidak satupun yang bisa mengumpulkan poin lebih baik dari yang lain. Penonton pun semakin tegang menunggu siapa di antara keduanya yang akan tumbang duluan.
Barshim tahu, Tamberi sudah mulai habis. Lebih lagi, Tamberi baru saja pulih dari cedera terbarunya. Hanya soal waktu, Tamberi akan menyerah dan Barshim memenangkan emas. Tamberi pun demikian. Berdiri di partai final, yang dia butuhkan hanya sedikit lagi keberuntungan. Keduanya hanya menunggu waktu.
Karena masih imbang, sudden-death harus terus dilakukan. Salah seorang official pertandingan mendekati keduanya, bermaksud menjelaskan aturan sudden-death berikutnya. Barshim melempar tatapan sejenak ke Tamberi tanpa berucap apapun, kemudian berkata ke official, “can we have two golds?” Official mengiyakan. Tamberi pun bersorak dan melompat memeluk Barshim. Kemudian jatuh tersungkur, berguling-guling di lapangan dan menangis seolah tidak percaya pada apa yang baru saja dikatakan oleh Barshim. Mereka berdua memutuskan untuk tidak melanjutkan sudden-death dan menjadi juara bersama.
“Can we have two golds?” – Barshim, Olympic Gold Medalist.
Semangat sportifitas yang diperagakan Barshim dan Tamberi ini ibarat drama fiksi di Olimpiade Tokyo. Tidak nyata, hanya gimmick. Bagaimana mungkin di arena sekaliber Olimpiade, yang tidak ada lagi ajang olahraga yang lebih tinggi derajatnya, di mana memenangi medali emas adalah capaian maksimal, menasbihkan pemenangnya sebagai yang terbaik seantero bumi, masih ada kisah seperti ini? Siapapun yang melakukan ini hanya akan mengorbankan statusnya sebagai SATU-SATUNYA yang terbaik. Faktanya, ini benar-benar terjadi. Media pun berlomba mengisahkan cerita ini.
Dalam keseharian, kita sudah terbiasa berkompetisi jadi yang terbaik. Dan semangat ini diiringi oleh mindset bahwa untuk menjadi yang terbaik, maka orang lain tidak boleh lebih baik.
Seorang rekan saya pernah bilang, tidak akan pernah ada juara satu tanpa juara dua, sebagaimana tidak akan ada pihak pemenang tanpa ada pihak yang kalah. Hari ini Barshim dan Tamberi membuktikan dia salah. Juara satu bisa tetap ada tanpa juara dua. Dan tidak perlu ada yang kalah untuk jadi pemenang.
Barshim dan Tamberi mengajarkan kita bahwa saling mengalahkan satu sama lain bukan satu-satunya solusi untuk jadi yang terbaik. Kita bisa memilih jadi yang terbaik bersama-sama, tanpa saling merugikan, tanpa harus saling menjatuhkan.